Oleh : Redaksi Kolom Opini Guru "Dwijo Utomo"
Setiap tanggal 2 Mei, kita memperingati Hari Pendidikan Nasional sebagai momen reflektif atas wajah pendidikan Indonesia. Tahun 2025 ini, refleksi kita tak bisa dilepaskan dari dinamika zaman yang bergerak cepat: disrupsi teknologi, tantangan sosial, serta harapan besar yang terus digantungkan di pundak para pendidik. Tema besar yang harus kita gaungkan adalah pendidikan untuk semua , bukan sekedar slogan, tapi sebagai janji yang diwujudkan.
Pendidikan untuk Semua: Dari Janji Menjadi Aksi
Di pelosok negeri, masih banyak anak-anak yang berjuang untuk mengakses pendidikan yang layak. Ketimpangan digital dan geografis menjadi dinding tebal yang membatasi hak belajar. Maka, semangat “pendidikan untuk semua yang digaungkan oleh Mendikdasmen Prof Abdul Mu'ti menuntut lebih dari sekedar program seremonial: ia harus diwujudkan dalam kebijakan afirmatif yang menyasar kelompok rentan, pendidikan inklusif yang adaptif terhadap kebutuhan semua peserta didik, serta pemerataan infrastruktur dan guru yang berkualitas di seluruh pelosok nusantara.
Kesejahteraan dan Perlindungan Profesi
Tidak ada pendidikan berkualitas tanpa guru yang sejahtera. Salah satu program prioritas kemdikdasmen adalah penyaluran tunjangan profesi guru secara langsung patut diapresiasi. Program Kesejahteraan guru bukan hanya soal kehormatan dan tunjangan, tapi juga soal perlindungan profesi, jaminan karir, serta ruang untuk terus belajar dan berkembang. Guru adalah fondasi peradaban, bukan pelengkap kebijakan.
AI dan Pendidikan: Peluang atau Ancaman?
Teknologi kecerdasan buatan (AI) telah memasuki ruang-ruang kelas, menghadirkan peluang sekaligus kecemasan. Di satu sisi, AI menawarkan personalisasi belajar, efisiensi manajemen pendidikan, hingga akses sumber belajar yang lebih luas. Di sisi lain, jika tidak dikuasai dengan bijak, AI bisa menjauhkan hubungan manusiawi dalam pendidikan dan menambah kesamaan bagi mereka yang belum memiliki akses teknologi.
Guru tidak boleh sekadar menjadi pengguna pasif, tetapi harus menjadi pembelajar aktif yang memahami, mengkritisi, dan mengarahkan penggunaan teknologi secara etis dan humanis. Pendidikan masa depan harus tetap menempatkan nilai-nilai kemanusiaan di atas algoritma.
Menjaga Marwah Guru di Era Media Sosial
Di tengah gelombang media sosial, citra guru seringkali direduksi dalam narasi viral. Peran guru sebagai teladan dan penjaga nilai-nilai moral masyarakat perlu diperkuat, tidak hanya melalui regulasi, tetapi juga melalui literasi digital dan budaya reflektif di kalangan pendidik itu sendiri. Guru harus mampu hadir di ruang digital tanpa kehilangan jati dirinya sebagai pendidik.
Refleksi Hardiknas 2025
Hari Pendidikan Nasional adalah ajakan bagi kita semua: untuk menyatukan tekad menciptakan pendidikan yang adil, manusiawi, dan relevan di tengah arus zaman. Karena sejatinya, pendidikan bukan sekedar urusan sekolah, tapi tanggung jawab bersama membentuk masa depan bangsa.
Di era digital saat ini, marwah guru menghadapi tantangan yang tak ringan. Ketika media sosial membuka ruang tanpa batas, guru menjadi figur publik yang mudah dibujuk, dipuji, dikritik, bahkan diterima hanya karena potongan konten yang viral. Fenomena ini kerap menuntut hakikat profesi guru yang sesungguhnya, profesi yang luhur dan tak dapat digantikan oleh teknologi atau algoritma secanggih apa pun.
Guru bukan sekedar pengajar, tetapi pendidik: pembentuk karakter, penanam nilai, pembimbing moral, dan penginspirasi kehidupan. Dalam proses itulah kehadiran guru bersifat esensial. Teknologi dapat menggantikan metode, namun tidak bisa menggantikan sentuhan hati, empati, dan kebijaksanaan yang hanya dapat ditularkan dari manusia ke manusia.
Martabat guru lahir dari panggilan jiwa, bukan sekedar pekerjaan. Profesi guru memikul tanggung jawab untuk membentuk manusia seutuhnya, bukan hanya menyampaikan pengetahuan, tetapi membimbing akhlak dan kepribadian. Guru adalah panutan dalam diam dan tindakannya, baik di ruang kelas maupun di ruang digital. Maka menjaga marwah guru berarti menjaga etika, menjaga integritas, dan menjaga keteladanan baik oleh guru itu sendiri, maupun oleh masyarakat yang menghargai peran dan perjuangannya.
Namun, menjaga martabat guru tidak cukup hanya dengan nasihat moral. Negara dan masyarakat juga harus hadir sebagai penyangga martabat tersebut: dengan memperbaiki kesejahteraan, menegakkan perlindungan hukum bagi guru, serta mengangkat narasi-narasi positif tentang kiprah guru yang membangun masa depan bangsa.
Saat dunia berubah, marwah guru harus tetap kokoh. Guru tidak boleh hanya menjadi korban arus digital, tetapi pemimpin moral di tengah zaman yang kian bising. Sebab dalam diri seorang guru yang menyembunyikan, kekuatan tersembunyi untuk mengubah satu generasi—dan dari situlah masa depan peradaban bangsa dilahirkan.
Selamat Hari Pendidikan Nasional tahun 2025
Posting Komentar