Selalu Ada di Nadimu: Suara Hati dan Tugas Mulia dalam Pendidikan


Oleh redaksi Kolom Opini Guru Dwijo Utomo


"Nyanyian ini bukan sekadar nada..."

Begitu lirik lagu "Selalu Ada di Nadimu" menyentuh hati, seolah menjadi suara batin seseorang yang sedang berdoa dalam diam untuk anak-anaknya. Lagu ini bukan sekadar kumpulan nada dan kata ia adalah doa, pengingat, sekaligus pesan kehidupan yang mendalam. Sebagai seorang guru, saya tak bisa tidak membayangkan wajah-wajah murid saya setiap kali mendengarkan lagu ini. Di balik semangat mereka yang tampak, tersimpan potensi, harapan, juga kerentanan yang sering tak terlihat.

Mari kita bicara sejenak, dari hati ke hati.

Lirik lagu ini seakan berbicara tentang bagaimana kehidupan akan menghadirkan badai, dan anak-anak murid-murid kita kelak akan berhadapan dengan kenyataan yang tidak selalu manis. "Kala nanti badai 'kan datang , angin akan buat kau goyah" adalah cara puitis untuk mengatakan bahwa kehidupan tidak selalu ramah. Tapi bukankah itu memang tugas seorang guru? Menyiapkan mereka bukan hanya untuk ujian tertulis, tapi untuk ujian kehidupan.

"Sedikit demi sedikit / engkau akan berteman pahit / luapkanlah saja bila harus menangis" . Ini adalah ruang empati. Di kelas, guru tak hanya mengajarkan rumus dan teori, tapi juga mengajarkan keberanian untuk menangis, untuk jujur pada diri, dan untuk tetap melangkah meski dunia terasa berat.


Ingatlah anaku, semua lelah tak akan tersia

Suatu siang, setelah penilaian formatif selesai, seorang murid duduk terdiam di bangku paling belakang. Matanya sayu, napasnya berat. Saya hampiri pelan-pelan, lalu duduk di sebelahnya.

“Kenapa, Nak?”
Ia menoleh pelan, lalu berbisik, “Bu… saya capek. Belajar keras, tapi nilai saya tetap belum bagus…”

Saya diam sebentar, lalu mengusap bahunya dan berkata,
“Anakku, ingatlah semua… Lelah tak akan tersia.”

Ia menatap saya, bingung.
Saya tersenyum, “Mungkin hari ini hasilnya belum seperti yang kamu harapkan. Tapi semua lelahmu, semua usahamu, semua tangismu di malam hari saat belajar diam-diam itu tidak sia-sia. Tenagamu sekarang sedang membangun masa depanmu. Mungkin belum kamu lihat sekarang, tapi nanti akan kamu syukuri.”

“Capek itu tanda kamu sedang bergerak ke depan. Lelah itu bukti kamu tidak menyerah. Dan Tuhan tidak akan membiarkan usahamu berlalu begitu saja.”

Ia mulai tersenyum kecil, lalu mengangguk.
“Jadi… saya nggak bodoh, Bu?” tanyanya ragu.
Saya jawab sambil menggenggam tangannya,
“Kamu sedang tumbuh. Dan tumbuh itu proses menjadi lebih baik meskipun kadang tidak selalu manis, tapi indah di akhirnya.”

Dalam pergaulan masyarakat Jawa, khususnya di Pekalongan, guru dipandang bukan hanya sebagai pengajar, tapi sebagai panutan. Ada ungkapan,

"Guru niku kaya wong tuwa nomer loro."

Guru dianggap seperti orang tua kedua bagi anak-anak. Di sinilah peran kita menjadi sangat penting—tidak hanya mengajarkan ilmu, tapi juga menjadi tempat anak-anak merasa dihargai, didukung, dan disayangi.

Kadang-kadang kita merasa lelah. Capek mengulang materi yang sama. Murid sulit fokus. Tapi percayalah, suara kita yang sabar, senyum kita yang tulus, dan perhatian kecil yang kita berikan—semua itu akan mereka kenang suatu hari nanti.

Seperti lirik lagu “Selalu Ada di Nadimu” yang berbunyi:


“Nyanyian ini bukan sekadar nada, aku ingin kau mendengarnya dengan hatimu, bukan telinga.”


Begitu juga profesi guru. Guru bukan hanya menyampaikan informasi, tapi menyentuh hati anak-anak. Memberi mereka semangat, harapan, dan kekuatan untuk menghadapi dunia yang kadang tak ramah.

Ki Hajar Dewantara sudah sejak dulu menekankan:

“Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.”

Di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, dan di belakang memberi dukungan.

Itulah guru, tidak selalu jadi pusat perhatian, tapi kehadirannya selalu berarti. Mungkin tak langsung terlihat hari ini, tapi akan terasa ketika mereka dewasa nanti.

Lagu Selalu Ada di Nadimu bukan hanya lagu anak. Ia adalah puisi panjang tentang harapan, dan sebagai guru, kita adalah penjaga puisi itu. Kita tidak sekadar mengajar. Kita adalah mereka yang akan selalu ada, bahkan ketika sudah tiada.

Maka, mari terus menenun peradaban dengan kelembutan hati. Mari menjadi nyanyian yang terus bergema di dalam dada anak-anak kita. Karena guru bukan hanya suara di kelas, tapi gema yang hidup di hati muridnya, selamanya.


Artikel ini dipersembahkan untuk semua guru di Pekalongan dan sekitarnya, yang telah menjadi cahaya di tengah badai, dan doa yang tak pernah padam bagi anak-anak bangsa.



Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama