Anak Didik Kita, Indonesia Kita: Refleksi Hari Ulang Tahun Kemerdekaan ke 80

 


Oleh Redaksi Kolom Opini Guru Dwijo Utomo

Setiap bulan Agustus, selalu ada rasa yang berbeda. Desa-desa dan kota-kota kita berubah wajah. Jalanan penuh dengan bendera merah putih yang berkibar gagah, gapura dihias dengan janur dan lampu warna-warni, anak-anak berlarian sambil memegang bendera kecil, dan riuh lomba-lomba rakyat yang mengundang tawa sekaligus mempererat persaudaraan. Ada gotong royong yang menghidupkan rasa kebersamaan, ada semangat yang tak hanya terpampang di panji, tetapi juga mengobarkan dalam hati kita.

Namun, di balik semarak itu, saya sering termenung. Delapan puluh tahun yang lalu, pada 17 Agustus 1945, teks proklamasi dibacakan. Selang satu hari berikutnya, panitia Sembilan bersidang dan menyetujui Undang-undang dasar negara sebagai pijakan arah bangsa. Saat itu, generasi sebelum kita berani mengambil risiko, menghadapi maut, demi satu kata yang sakral Merdeka!!!

Kini, merdeka bukan sekadar bebas dari penjajahan. Sebagai bangsa yang merdeka, kita memerlukan manusia-manusia yang cakap, tangguh, dan utuh. Manusia Indonesia yang tidak hanya pandai secara akademik, tetapi juga mendalami budaya, berbahasa santun, menjunjung gotong royong, memahami kekayaan alamnya, dan menumbuhkan persatuan. Bukankah nenek moyang kita telah menunjukkan kecerdasan sejak dahulu kala dengan pengetahuan mereka tentang teknologi arsitektur, ilmu bumi, obat-obatan, kuliner yang lezat, menjelajahi lautan, dan menggunakan langit (astronomi) sebagai penunjuk arah?

Negara-negara tetangga seperti Singapura dan Tiongkok melesat maju karena berani menaruh taruhan terbesar mereka pada pendidikan. Semangat kemerdekaan jangan hanya dirayakan setiap 17 Agustus dengan lomba dan hiasan. Semangat itu seharusnya hadir setiap hari, di dalam kelas, di rumah, di tengah masyarakat. Kita hidupkan ia melalui cinta tanah air, persatuan, gotong royong, toleransi, saling membantu, dan berbagi kebahagiaan.

Sejarah pun membuktikan, bangsa ini bergerak maju karena lahirnya golongan terpelajar yang peduli pada nasib bangsanya. Mereka rela pulang dari negeri orang karena merasa, betapapun nikmatnya hidup di tanah asing, tanah air sendiri adalah rumah yang paling nyaman. Kita bisa belajar dari kisah BJ Habibie. Beliau sempat berkarier cemerlang di Jerman dengan fasilitas dan penghargaan yang luar biasa. Namun, ketika bangsa ini memanggil, ia pulang. Habibie meninggalkan kenyamanan hidup di negeri maju demi membangun pondasi kedirgantaraan Indonesia, agar anak bangsa mampu bermimpi terbang setinggi langit dengan karyanya sendiri.


Habibie muda di Jerman

Tak hanya Habibie, sejarah juga mencatat nama-nama seperti Sutan Sjahrir, Mohammad Hatta, dan Tan Malaka. Mereka menempuh pendidikan di Eropa, hidup di tengah kemewahan dunia Barat, namun justru di sanalah mereka menemukan panggilan jiwanya pulang dan berjuang demi bangsanya. Mohammad Hatta bahkan pernah berkata, “Aku rela dipenjara bertahun-tahun, asal bersama dengan rakyatku. Tetapi aku tidak rela dipenjara di negeri orang, walaupun dengan segala kenyamanan.”


Mohammad Hatta (muda)  di Belanda

Begitu pula dengan tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara, yang di masa mudanya mengenyam pendidikan Barat, namun kembali dengan gagasan besar yaitu membangun Taman Siswa, tempat anak-anak Indonesia belajar merdeka dengan jiwa dan budayanya sendiri. Itulah semangat yang harus kita hidupkan dalam diri anak-anak kita hari ini bahwa ilmu pengetahuan, pengalaman, dan kesempatan yang mereka dapatkan, sejauh apa pun langkahnya, pada akhirnya harus kembali untuk satu tujuan mulia yaitu memajukan bangsanya.


Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) ketika muda

     Semoga semangat itu tidak sekedar lewat sebagai euforia di bulan Agustus, tapi benar-benar bersemi di hati kita, terutama di hati anak-anak kita. Karena merekalah yang akan melanjutkan perjalanan bangsa ini ketika kita tak mampu lagi berjalan. Mereka adalah generasi yang akan menulis bab berikutnya dalam sejarah Indonesia. Namun benih itu tidak akan tumbuh dengan sendirinya. Tugas kitalah, para guru, untuk menanam, merawat, dan menyiraminya setiap hari. Kita bukan sekedar menyampaikan materi pelajaran, melainkan juga pendidik yang menyalakan kobaran cinta tanah air di dada anak-anak kita. Kita adalah penyala semangat yang membimbing mereka melihat bahwa belajar bukan hanya demi diri sendiri, melainkan juga demi bangsanya.

Di kelas-kelas kita, di papan tulis yang penuh coretan, di balik lembar-lembaran karya mereka, terselip proses membentuk karakter generasi penerus. Setiap kata yang kita ucapkan, setiap nilai yang kita tanamkan, adalah bagian dari fondasi Indonesia di masa depan. Mungkin hari ini kita hanya mengajarkan huruf, angka, atau baris kalimat sederhana. Tetapi kelak, dari huruf-huruf itulah lahirnya pemimpin besar, dari angka-angka itu lahir ilmuwan cemerlang, dan dari kalimat sederhana itulah lahir orator yang membangunkan bangsa.

Indonesia akan benar-benar merdeka setiap hari, jika semangat itu hidup dalam keseharian anak-anak kita. Dan tidak ada yang lebih berperan dalam menyalakan semangat itu selain kita para guru. Sebab di tangan kitalah, masa depan bangsa ini ditempa. Selamat hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Merdeka!!!!

                                                                                               Pekalongan, 16 Agustus 2025 23:06 WIB

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama